A. Memahami Makna al-Asmā’u al-Ĥusnā: al-Karīm, al-Mu’min,
al-Wakil, alMatin, al-Jāmi’, al-‘Adl, dan al-Ākhir.)
1.
Pengertian al-Asmā’u al-Ĥusnā
Al-Asmā’u al-Ĥusnā terdiri atas dua kata, yaitu asmā yang berarti
nama-nama, dan ĥusna yang berarti baik atau indah. Jadi, al-Asmā’u alĤusnā
dapat diartikan sebagai nama-nama yang baik lagi indah yang hanya dimiliki oleh
Allah Swt. sebagai bukti keagungan-Nya. Kata al-Asmā’u alĤusnā diambil dari
ayat al-Qur’ān Q.S. Ţāhā/20:8. yang artinya, “Allah Swt. tidak ada Tuhan
melainkan Dia. Dia memiliki al-Asmā’u al-Ĥusnā (namanama baik).“
2.
Dalil tentang al-Asmā’u al-Ĥusnā
a. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-A’rāf/7:180 Artinya: “Dan Allah
Swt. memiliki asmā’ul ĥusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut)
nama-nama-Nya yang baik itu dan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 5
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al
A’rāf/7:180) Dalam ayat lain dijelaskan bahwa al-Asmā’u al-Ĥusnā merupakan
amalan yang bermanfaat dan mempunyai nilai yang tak terhingga tingginya. Berdoa
dengan menyebut al-Asmā’u al-Ĥusnā sangat dianjurkan menurut ayat tersebut.
b. Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Bukhari Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya
Allah Swt. mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang
siapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (H.R. Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas, menghafalkan al-Asmā’u al-Ĥusnā akan mengantarkan
orang yang melakukannya masuk ke dalam surga Allah Swt. Apakah hanya dengan
menghafalkannya seseorang dengan mudah akan masuk ke dalam surga? Jawabnya,
tentu saja tidak. Karena menghafalkan al-Asmā’u al-Ĥusnā harus diiringi juga
dengan menjaganya, baik menjaga hafalannya dengan terus-menerus menżikirkannya,
maupun menjaganya dengan menghindari perilakuperilaku yang bertentangan dengan
sifat-sifat Allah Swt. dalam alAsmā’u al-Ĥusnā tersebut.
B. Memahami makna al-Asmā’u al-¦usnā: al-Karim, al-Mu’min,
al-Wakil, alMatin, al-Jāmi’, al-‘Adl, dan al-Ākhir.
1. Al-Karim
Secara bahasa, al-Karim mempunyai arti Yang Mahamulia, Yang Maha
Dermawan atau Yang Maha Pemurah. Secara istilah, al-Karim diartikan bahwa Allah
Swt. Yang Mahamulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki kepada
semua makhluk-Nya. Dapat pula dimaknai sebagai Zat yang sangat banyak memiliki
kebaikan, Maha Pemurah, Pemberi Nikmat dan keutamaan, baik ketika diminta
maupun tidak. Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:
Artinya: “Hai manusia apakah yang telah memperdayakanmu terhadap
Tuhan Yang Maha Pemurah?” (Q.S. al-Infiţār:6)
Al-Karim dimaknai Maha Pemberi karena Allah Swt. senantiasa
memberi, tidak pernah terhenti pemberian-Nya. Manusia tidak boleh berputus asa
dari kedermawanan Allah Swt. jika miskin dalam harta, karena kedermawanan-Nya
tidak hanya dari harta yang dititipkan melainkan meliputi segala hal. Manusia
yang berharta dan dermawan hendaklah tidak sombong karena telah memiliki sifat
dermawan karena Allah Swt. tidak menyukai kesombongan. Dengan demikian, bagi
orang yang diberikan harta melimpah maupun orang tidak dianugerahi harta oleh Allah
Swt., maka keduanya harus selalu bersyukur kepada-Nya karena orang yang miskin
pun telah diberikan nikmat selain harta.
Al-Karim juga dimaknai Yang Maha Pemberi Maaf karena Allah Swt.
memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah
Swt., kemudian hamba itu mau bertaubat kepada Allah Swt. Bagi hamba yang
berdosa, Allah Swt. adalah Yang Maha Pengampun. Allah Swt. akan mengampuni
seberapa pun besar dosa hamba-Nya selama hambanya tidak meragukan kasih sayang
dan kemurahan-Nya.
Menurut imam al-Gazali, al-Karim adalah Dia yang apabila berjanji,
menepati janjinya, bila memberi, melampaui batas harapan, tidak peduli berapa
dan kepada siapa Dia memberi dan tidak rela bila ada kebutuhan hambanya memohon
kepada selain-Nya, meminta pada orang lain. Dia yang bila kecil hati menegur
tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapa yang menuju dan berlindung kepada-Nya,
dan tidak membutuhkan sarana atau perantara.
2. Al-Mu’min
Al-Mu’min secara bahasa berasal dari kata amina yang berarti
pembenaran, ketenangan hati, dan aman. Allah Swt. al-Mu’min artinya Dia Maha
Pemberi rasa aman kepada semua makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Dengan
demikian, hati manusia menjadi tenang. Kehidupan ini penuh dengan berbagai
permasalahan, tantangan, dan cobaan. Jika bukan karena Allah Swt. yang
memberikan rasa aman dalam hati, niscaya kita akan senantiasa gelisah, takut,
dan cemas. Perhatikan firman Allah Swt. berikut ini.
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan
mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’ām/6:82)
Ketika kita akan menyeru dan
berdoa kepada Allah Swt. dengan nama-Nya al-Mu’min, berarti kita memohon
diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah, bencana, dan siksa. Karena Dialah
Yang Maha Memberikan keamanan, Dia yang Maha Pengaman. Dalam nama al-Mu’min
terdapat kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Ada pertolongan dan
perlindungan, ada jaminan (insurance), dan ada bala bantuan. Berżikir dengan
nama Allah Swt. al-Mu’min di samping me-numbuhkan dan memperkuat keyakinan dan
keimanan kita, bahwa keamanan dan rasa aman yang dirasakan manusia sebagai
makhluk adalah suatu rahmat dan karunia yang diberikan dari sisi Allah Swt.
Sebagai al-Mu’min, yaitu Tuhan Yang Maha Pemberi Rasa Aman juga
terkandung pengertian bahwa sebagai hamba yang beriman, seorang mukmin dituntut
mampu menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan rasa aman terhadap
lingkungannya. Mengamalkan dan meneladani al-Asmā’u al-Ĥusnā al-Mu’min, artinya
bahwa seorang yang beriman harus menjadikan orang yang ada di sekelilingnya
aman dari gangguan lidah dan tangannya. Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw.
bersabda: “Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak
beriman. Para sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasulullah saw.?’ Rasulullah saw.
menjawab, ‘Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
3. Al-Wakil
Kata “al-Wakil” mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara.
Al-Wakil (Yang Maha Mewakili atau Pemelihara), yaitu Allah Swt. yang memelihara
dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun
urusan akhirat. Dia menyelesaikan segala sesuatu yang diserahkan hambanya tanpa
membiarkan apa pun terbengkalai. Firman-Nya dalam al-Qur’ān:
Artinya: “Allah Swt. pencipta segala sesuatu dan Dia Maha
Pemelihara atas segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar/39:62).
Dengan demikian, orang yang mempercayakan segala urusannya kepada
Allah Swt., akan memiliki kepastian bahwa semua akan diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh hamba yang mengetahui bahwa
Allah Swt. yang Mahakuasa, Maha Pengasih adalah satu-satunya yang dapat
dipercaya oleh para hamba-Nya. Seseorang yang melakukan urusannya dengan
sebaik-baiknya dan kemudian akan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt.
untuk menentukan karunia-Nya.
Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Swt. melahirkan sikap
tawakkal. Tawakkal bukan berarti mengabaikan sebabsebab dari suatu kejadian.
Berdiam diri dan tidak peduli terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap
malas. Ketawakkalan dapat diibaratkan dengan menyadari sebab-akibat. Orang
harus berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasulullah saw.
bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakkallah kepada Allah Swt.”
Manusia harus menyadari bahwa semua usahanya adalah sebuah doa yang
aktif dan harapan akan adanya pertolongan-Nya. Allah Swt. berfirman yang
artinya, “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Swt. Tuhan
kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala
sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.“ (Q.S.
al-An’ām/6:102).
Hamba al-Wakil adalah yang bertawakkal kepada Allah Swt. Ketika
hamba tersebut telah melihat “tangan” Allah Swt. dalam sebab-sebab dan alasan
segala sesuatu, dia menyerahkan seluruh hidupnya di tangan alWakil.
4. Al-Matin
Al-Matin artinya Mahakukuh. Allah Swt. adalah Mahasempurna dalam
kekuatan dan kekukuhan-Nya. Kekukuhan dalam prinsip sifat-sifat-Nya. Allah Swt.
juga Mahakukuh dalam kekuatan-kekuatan-Nya. Oleh karena itu, sifat al-Matin
adalah kehebatan perbuatan yang sangat kokoh dari kekuatan yang tidak ada
taranya. Dengan demikian, kekukuhan Allah Swt. yang memiliki rahmat dan azab
terbukti ketika Allah Swt. memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada
apa pun yang dapat menghalangi rahmat ini untuk tiba kepada sasarannya.
Demikian juga tidak ada kekuatan yang dapat mencegah pembalasan-Nya.
Seseorang yang menemukan kekuatan dan kekukuhan Allah Swt. akan
membuatnya menjadi manusia yang tawakkal, memiliki kepercayaan dalam jiwanya
dan tidak merasa rendah di hadapan manusia lain. manusia akan selalu merasa
rendah di hadapan Allah Swt. Hanya Allah Swt. yang Maha Menilai. Oleh karena itu,
Allah Swt. melarang manusia bersikap atau merasa lebih dari saudaranya. Karena
hanya Allah Swt. yang Maha Mengetahui baik buruknya seorang hamba. Allah Swt.
juga menganjurkan manusia bersabar. Karena Allah Swt. Mahatahu apa yang terbaik
untuk hambaNya.
Kekuatan dan kekukuhan-Nya tidak terhingga dan tidak terbayangkan
oleh manusia yang lemah dan tidak memiliki daya upaya. Jadi, karena
kekukuhan-Nya, Allah Swt. tidak terkalahkan dan tidak tergoyahkan. Siapakah
yang paling kuat dan kukuh selain Allah Swt? Tidak ada satu makhluk pun yang
dapat menundukkan Allah Swt. meskipun seluruh makhluk di bumi ini bekerja sama.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Sungguh Allah Swt., Dialah pemberi rezeki yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kukuh.” (Q.S. aż-Żāriyāt/51:58)
Dengan demikian, akhlak kita terhadap sifat al-Matin adalah dengan
beristiqamah (meneguhkan pendirian), beribadah dengan kesungguhan hati, tidak
tergoyahkan oleh bisikan menyesatkan, terus berusaha dan tidak putus asa serta
bekerja sama dengan orang lain sehingga menjadi lebih kuat.
5. Al-Jāmi’
Al-Jāmi’ secara bahasa
artinya Yang Maha Mengumpulkan/Menghimpun, yaitu bahwa Allah Swt. Maha
Mengumpulkan/Menghimpun segala sesuatu yang tersebar atau terserak. Allah Swt.
Maha Mengumpulkan apa yang dikehendaki-Nya dan di mana pun Allah Swt.
berkehendak. Penghimpunan ini ada berbagai macam bentuknya, di antaranya adalah
mengumpulkan seluruh makhluk yang beraneka ragam, termasuk manusia dan
lain-lainnya, di permukaan bumi ini dan kemudian mengumpulkan mereka di padang mahsyar
pada hari kiamat. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia
untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”.
Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyalahi janji.”(Q.S. Ali Imrān/3:9).
Allah Swt. akan menghimpun manusia di akhirat kelak sama dengan
orang-orang yang satu golongan di dunia. Hal ini dapat dijadikan sebagai
barometer, kepada siapa kita berkumpul di dunia itulah yang akan menjadi teman
kita di akhirat. Walaupun kita berjauhan secara fisik, akan tetapi hati kita
terhimpun, di akhirat kelak kita juga akan terhimpun dengan mereka. Begitupun
sebaliknya, walaupun kita berdekatan secara fisik akan tetapi hati kita jauh,
maka kita juga tidak akan berkumpul dengan mereka.
Oleh sebab itu, apabila di dunia hati kita terhimpun dengan
orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di akhirat kelak kita
akan berkumpul dengan mereka di dalam neraka. Karena orang-orang yang selalu
memperturutkan hawa nafsunya, tempatnya adalah di neraka. Begitupun sebaliknya,
apabila kecenderungan hati kita terhimpun dengan orang-orang yang beriman,
bertakwa dan orang-orang saleh, di akhirat kelak kita juga akan terhimpun
dengan mereka. Karena tidaklah mungkin orang-orang beriman hatinya terhimpun
dengan orangorang kafir dan orang-orang kafir juga tidak mungkin terhimpun
dengan orang-orang beriman. Allah Swt. juga mengumpulkan di dalam diri seorang
hamba ada yang lahir di anggota tubuh dan hakikat batin di dalam hati. Barang
siapa sempurna ma’rifatnya dan baik tingkah lakunya, maka ia disebut juga
sebagai al-Jāmi’. Dikatakan bahwa al-Jāmi’ ialah orang yang tidak padam cahaya
ma’rifatnya.
6. Al-‘Adl
Al-‘Adl artinya Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak,
tidak dipengaruhi oleh apa pun dan oleh siapa pun. Keadilan Allah Swt. juga
didasari dengan ilmu Allah Swt. yang Maha Luas. Dengan demikian, tidak mungkin
keputusan-Nya itu salah. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’ān, sebagai
kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimatkalimat-Nya
dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’ām/6:115).
Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Orang
yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang menunjukkan orang
yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga
dimaknai sebagai penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Allah Swt.
dinamai al-‘Adl karena keadilan Allah Swt. adalah sempurna. Dengan demikian,
semua yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah Swt. sudah menunjukkan keadilan
yang sempurna. Hanya saja, banyak di antara kita yang tidak menyadari atau
tidak mampu menangkap keadilan Allah Swt. terhadap apa yang menimpa
makhluk-Nya.
Oleh karena itu, sebelum
menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita harus dapat memperhatikan dan
mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan dinilai. Akal
manusia tidak dapat menembus semua dimensi tersebut. Seringkali ketika manusia
memandang sesuatu secara sepintas dinilainya buruk, jahat, atau tidak adil,
tetapi jika dipandangnya secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya,
merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau keadilan. Tahi lalat secara sepintas
terlihat buruk, namun jika berada di tengah-tengah wajah seseorang dapat
terlihat indah. Begitu juga memotong kaki seseorang (amputasi) terlihat kejam,
namun ketika dikaitkan dengan penyakit yang mengharuskannya untuk dipotong, hal
tersebut merupakan suatu kebaikan. Di situlah makna keadilan yang tidak gampang
menilainya.
Allah Swt. Mahaadil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang
sama dan sederajat. Tidak ada yang ditinggikan hanya karena keturunan,
kekayaan, atau karena jabatan. Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah Swt.
hanya diukur dari seberapa besar mereka berusaha meningkatkan takwanya. Makin
tinggi takwa seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan
oleh Allah Swt., begitupun sebaliknya. Sebagian dari keadilan-Nya, Dia hanya
menghukum dan memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung dalam
perbuatan maksiat atau dosa.
Istilah dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak
dikenal dalam syari’at Islam. Semua manusia di hadapan Allah Swt. akan
mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Lebih dari itu, keadilan Allah Swt.
selalu disertai dengan sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak seseorang
berniat berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan
dalam amal perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa
selagi masih berupa niat berbuat jahat. Sebuah dosa baru dicatat apabila
seseorang telah benar-benar berlaku jahat.
7. Al-Ākhir
Al-Ākhir artinya Yang Mahaakhir yang tidak ada sesuatu pun setelah
Allah Swt. Dia Mahakekal tatkala semua makhluk hancur, Mahakekal dengan
kekekalan-Nya. Adapun kekekalan makhluk-Nya adalah kekekalan yang terbatas,
seperti halnya kekekalan surga, neraka, dan apa yang ada di dalamnya. Surga adalah
makhluk yang Allah Swt. ciptakan dengan ketentuan, kehendak, dan perintah-Nya.
Nama ini disebutkan di dalam firman-Nya:
Artinya: “Dialah Yang Awal dan Akhir Yang Żahir dan Yang Batin, dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu“. (Q.S. al-Ĥadid/57:3).
Allah Swt. berkehendak untuk menetapkan makhluk yang kekal dan yang
tidak, namun kekekalan makhluk itu tidak secara zat dan tabi’at. Karena secara
tabi’at dan zat, seluruh makhluk ciptaan Allah Swt. adalah fana (tidak kekal).
Sifat kekal tidak dimiliki oleh makhluk, kekekalan yang ada hanya sebatas kekal
untuk beberapa masa sesuai dengan ketentuan-Nya. Orang yang mengesakan al-Ākhir
akan menjadikan Allah Swt. sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan
hidup selain-Nya, tidak ada permintaan kepada selain-Nya, dan segala kesudahan
tertuju hanya kepada-Nya.
Oleh sebab itu, jadikanlah akhir kesudahan kita hanya kepadaNya.
Karena sungguh akhir kesudahan hanya kepada Rabb kita, seluruh sebab dan tujuan
jalan akan berujung ke haribaan-Nya semata. Orang yang mengesakan al-Ākhir akan
selalu merasa membutuhkan Rabb-nya, ia akan selalu mendasarkan apa yang
diperbuatnya kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya,
karena manusia mengetahui bahwa Allah Swt. adalah pemilik segala kehendak,
hati, dan niat.
C. Menerapkan
Perilaku Mulia
Setelah mempelajari keimanan kepada Allah Swt. melalui
sifat-sifatnya dalam al-Asmā’u al-Ĥusnā, sebagai orang yang beriman, kita wajib
merealisaikannya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Perilaku yang mencerminkan sikap memahami al-Asmā’u al-Ĥusnā, tergambar dalam
aktivitasaktivitas berikut.
1.
Menjadi orang yang dermawan Sifat dermawan adalah sifat Allah Swt. al-Karim
(Maha Pemurah), sehingga sebagai wujud keimanan tersebut, kita harus menjadi
orang yang pandai membagi kebahagiaan kepada orang lain baik dalam bentuk harta
atau bukan. Wujud kedermawanan tersebut, misalnya seperti berikut.
a. Selalu menyisihkan uang jajan untuk kotak amal setiap hari
Jum’at yang diedarkan oleh petugas Rohis.
b. Membantu teman yang sedang dalam kesulitan.
c. Menjamu tamu yang datang ke rumah sesuai dengan kemampuan
2.
Menjadi orang yang jujur dan dapat memberikan rasa aman Wujud dari meneladani
sifat Allah Swt al-Mu’min adalah seperti berikut.
- Menolong teman/orang lain yang sedang
dalam bahaya atau ketakutan.
- Menyingkirkan duri, paku, atau benda lain
yang ada di jalan yang dapat membahayakan pengguna jalan.
- Membantu orang tua atau anak-anak yang
akan menyeberangi jalan raya.
3.
Senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt. Wujud dari meneladani sifat Allah Swt.
al-Wakil dapat berupa hal-hal berikut.
- Menjadi pribadi yang mandiri, melakukan
pekerjaan tanpa harus merepotkan orang lain.
- Bekerja/belajar dengan sunguh-sungguh
karena Allah Swt. tidak akan mengubah nasib seseorang apabila orang
tersebut tidak mau berusaha.
4.
Menjadi pribadi yang kuat dan teguh pendirian Perwujudan meneladani dari sifat
Allah Swt. al-Matin dapat berupa hal-hal berikut.
a.
Tidak
mudah terpengaruh oleh rayuan atau ajakan orang lain untuk melakukan perbuatan
tercela. b.
b.
Kuat
dan sabar dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan yang dihadapi.
5.
Berkarakter pemimpin Pewujudan meneladani sifat Allah Swt. al-Jāmi’, di
antaranya seperti berikut.
- Mempersatukan orang-orang yang sedang
berselisih.
- Rajin melaksanakan śalat berjama’ah.
- Hidup bermasyarakat agar dapat memberikan
manfaat kepada orang lain.
6.
Berlaku adil Perwujudan meneladani sifat Allah Swt. al-‘Adl, misalnya seperti
berikut.
a.
Tidak
memihak atau membela orang yang bersalah, meskipun orang tersebut saudara atau
teman kita.
b.
Menjaga
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar dari kezaliman.
7.
Menjadi orang yang bertakwa Meneladani sifat Allah Swt. al-Ākhir adalah dengan
cara seperti berikut.
- Selalu melaksanakan perintah Allah Swt.
seperti śalat lima waktu, patuh dan hormat kepada orang tua dan guru,
puasa, dan kewajiban lainnya.
- b. Meninggalkan dan menjauhi semua
larangan Allah Swt. seperti mencuri, minum-minuman keras, berjudi,
pergaulan bebas, melawan orang tua, dan larangan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar